SOSIOLOGI BENCANA
MODAL SOSIAL DALAM MANAJEMEN BENCANA ALAM
ERUPSI GUNUNG MERAPI
OLEH:
APRITA NUR
RACHMA
18413241025
BNPB (Badan Nasional Penanggulangan
Bencana) mendefinisikan bencana sebagai
peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan
penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor
non alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa
manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.
Definisi ini menyebutkan bahwa bencana disebabkan oleh faktor alam, non alam,
dan manusia.Oleh karena itu, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tersebut juga
mendefinisikan mengenai bencana alam, bencana nonalam, dan bencana sosial.
Sedangkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2007, mendefinisikan bencana alam sebagai bencana yang
diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam
antara lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan,
angin topan, dan tanah longsor. Bencana nonalam adalah bencana
yang diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian peristiwa nonalam yang antara
lain berupa gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemi, dan wabah penyakit.
Bencana sosial adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian
peristiwa yang diakibatkan oleh manusia yang meliputi konflik sosial
antarkelompok atau antarkomunitas masyarakat, dan teror.
Pada kesempatan ini, akan kita bahas
mengenai salah satu jenis bencana alam yakni erupsi atau letusan gunung api.
Menurut BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana), letusan gunung
api merupakan bagian dari aktivitas vulkanik yang dikenal dengan
istilah "erupsi". Bahaya letusan gunung api dapat berupa awan panas,
lontaran material (pijar), hujan abu lebat, lava, gas racun, tsunami dan banjir
lahar.
Siapa yang tidak tahu dengan salah satu
gunung api yang berdiri dengan gagahnya di tanah perbatasan provinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah. Ya, Gunung Merapi. Gunung Merapi menjadi
pembatas antara kedua provinsi tersebut. Di mana lereng sisi selatan berada
dalam administrasi Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan sisanya
berada dalam wilayah Provinsi Jawa Tengah. Gunung Merapi dan kawasan di sekitarnya menjadi
sumber matapencaharian utama bagi masyarakat yang hidup di kawasan lerengnya,
karena begitu banyak sumber daya alam yang bisa dieksplor di sana. Entah itu
material hasil erupsinya yang dapat digunakan untuk bahan bangunan, tananhnya
yang subur untuk bercocok tanam, sampai keelokan alamnya yang memikat para
wisatawan. Namun, terlepas dari segala manfaat yang diberikan, Gunung Merapi
tetaplah merupakan gunung api yang sampai saat ini masih aktif. Sehingga,
selain dampak positif yang didapatkan, masyarakat di
sekitar juga beresiko mendapat ancaman bahaya jika sewaktu-waktu
terjadi erupsi. Hal tersebut tidak dapat dihindari. Namun, dapat diminimalisir
dampaknya dengan upaya-upaya seperti perlu dilakukannya manajemen bencana.
Apa itu manajemen bencana? Shaluf dalam
Kusumasari (2010:19) mendefinisikan manajemen bencana sebagai istilah kolektif
yang mencakup semua aspek perencanaan untuk merespons bencana, termasuk
kegiatan-kegiatan sebelum bencana dan setelah bencana yang mungkin juga merujuk
pada manajemen resiko dan konsekuensi bencana. Dari definisi tersebut, dapat
disimpulkan bahwa manajemen bencana merupakan suatu usaha sistematis yang
dilakukan oleh pemerintah, relawan, dan pihak-pihak swasta dalam merespon
terjadinya bencana mulai dari sebelum terjadinya bencana hingga setelah
terjadinya bencana.
Dalam konsep manajemen bencana dikenal
tiga tahapan utama yaitu “pra-disaster, during disaster, dan after
disaster”. Setiap tahapan dalam manajemen bencana seharusnya merupakan
suatu siklus atau daur yang continue, bertahap dan komprehensif.
Selama ini upaya-upaya penanggulangan bencana hanya terfokus pada tahapan “emergency
response” (tanggap darurat) selama 7- 14 hari, padahal seharusnya pada
tahapan pra-disaster yang meliputi kegiatan-kegiatan mitigasi
dan kesiapsiagaan menghadapi bencana juga penting, agar kalau terjadi bencana
jumlah korban dapat ditekan seminimal mungkin (Sudibyakto, 2011: 126)
Dalam kajian Sosiologi Bencana, manajemen
bencana dapat dilakukan dengan cara mengkolaborasikan modal sosial yang ada di
dalam masyarakat. Sebelumnya, modal sosial sendiri menurut pandangan Bourdieu
merupakan sumber daya aktual atau virtual yang diperoleh dari individu ataupun
kelompok berdasarkan jaringan yang dimiliki dengan hubungan saling mengenal dan
pengakuan yang kurang lebih dilembagakan. Bourdieu memandang modal sosial lebih
kepada hubungan dominasi dengan hak istimewa oleh kelompok elit. Sedangkan
menurut James Coleman, modal sosial didefinisikan sebagai kumpulan sumber daya
yang ada di dalam hubungan keluarga atau organisasi sosial masyarakat dan
berguna untuk perkembangan kognitif atau sosial anak. Konsep modal sosial
menurut Coleman ini tidak berbatas namun bisa pula memberikan manfaat kepada
masyarakat miskin.
Bentuk modal sosial yang
dimiliki oleh masyarakat yang hidup di lereng Gunung Merapi yang dapat
digunakan dalam manajemen kebencanaan antara lain adalah:
1.
Kepercayaan
Kepercayaan menurut Fukuyana (1996) adalah
harapan yang tumbuh di dalam sebuah masyarakat yang ditunjukkan oleh adanya
perilaku jujur, teratur, dan kerja sama didasarkan norma-norma yang dianut
bersama. Kepercayaan berfungsi untuk memreduksi atau meminimalisasi bahaya yang
dihasilkan oleh aktivitas tertentu. Kepercayaan pada umumnya bukan tentang
suatu resiko, namun lebih kepada berbagai kemungkinan yang akan terjadi.
Kepercayaan juga mampu untuk meningkatkan toleransi terhadap suatu
ketidakpastian. Sehingga, dengan adanya kepercayaan yang dipegang atau dianut
dapat menimbulkan optimisme di masyarakat.
Zaman dahulu masyarakat Merapi masih
percaya dengan ramalan-ramalan adanya bencana erupsi dari sosok Eyang Keraton
Merapi melalui mimpi. Mereka percaya bahwa jika Gunung Merapi akan mengalami
erupsi maka orang-orang tertentu seperti dukun dan juru kunci akan mendapatkan
mimpi dari roh leluhur Merapi. Selain itu, ada pula ramalan tentang kilat yang
datang berkali-kali, asap hitam di udara, suhu udara yang panas, dan
hewan-hewan hutan milik Eyang Merapi yang turun ke desa. Dahulu, kepercayaan
tradisional masyarakat lokal ini bisa dijadikan sebagai manajemen bencana
tahap pra-disaster, dalam artian dapat digunakan sebagai pertanda
sebelum terjadinya bencana agar masyarakat senantiasa waspada dan mempersiapkan
diri jika sewaktu-waktu terjadi erupsi.
Namun, saat ini kepercayaan kuno tersebut
sudah banyak ditinggalkan meskipun beberapa masih ada yang mempercayainya.
Sedangkan yang lebih eksis di kalangan masyarakat saat ini adalah pengetahuan
kebencanaan ilmiah yang sumbernya lebih akurat. Misalnya saja seperti kegiatan
sosialisasi kebencanaan yang diselenggarakan oleh pemerintah, edukasi-edukasi
tentang mitigasi bencana yang diperoleh masyarakat baik secara langsung maupun
melalui berbagai media. Pengalaman-pengalaman yang telah dialamilah yang telah mempengaruhi
masyarakat sehingga mereka sadar akan ancaman bahaya Gunung Merapi dan lebih
menerima pengetahuan ilmiah yang modern untuk mengurangi resiko bencana
daripada hanya mengandalkan kepercayaan tradisonal masyarakat lokal saja.
2.
Nilai dan Norma
Nilai dan norma adalah hal mendasar yang
terdapat dalam proses interaksi sosial. Nilai dan norma dalam hal ini mengacu
pada bagaimana seharusnya individu bertindak dalam masyarakat. Norma terbentuk
melalui tradisi, sejarah, ataupun tokoh karismatik yang membangun tata cara
perilaku seseorang/kelompok dalam masyarakat, yang kemudian di dalamnya akan
timbul modal sosial secara spontan dalam kerangka menentukan tata aturan yang
dapat mengatur kepentingan pribadi dan kelompok dalam suatu masyarakat.
Modal sosial yang dimiliki oleh mayoritas
masyarakat yang tinggal di lereng Merapi salah satunya ialah adanya kemandirian
dalam menghadapi bencana. Sikap mandiri ini tumbuh dan terbangun dalam
masyarakat karena kebiasaan, sebab bencana erupsi yang dialami tersebut tentu
tidak hanya sekali dua kali namun sudah berkali-kali mereka alami sehingga
masyarakat seperti sudah terbiasa untuk menghadapi ancaman bahaya bencana
tersebut, mulai dari saat sebelum terjadinya, ketika terjadinya bencana, maupun
pasca bencana. Misalnya saja, saat proses evakuasi masyarakat mampu melakukan
evakuasi secara mandiri sesuai himbauan dari kepala dusun tanpa bantuan dari
relawan ataupun pemerintah. Bahkan, ketika masa pemulihan (recovery)
pasca bencana, masyarakat sudah mampu untuk berusaha tidak mengandalkan bantuan
pihak eksternal dalam pemenuhan kebutuhan hidup. Bahkan, banyak penduduk yang
sudah mulai bekerja seperti biasa meskipun masih tinggal di shelter.
Jadi, masyarakat di sana tidak mau jika hanya berdiam diri dan hanya
mengandalkan bantuan dari luar tanpa melakukan usaha apapun. Mereka berusaha
sebisa mungkin dengan caranya sendiri. Meskipun, tidak bisa dipungkiri bahwa
kerja sama dengan pihak lain tetap terjalin. Misalnya, masyarakat secara
mandiri mengajukan bantuan hewan ternak dan membangun tempat wisata baru untuk
pemulihan kondisi ekonominya. Ha;-hal di atas menjadi bukti bahwa terdapat
nilai yang dianut bersama oleh masyarakat setempat yakni kerja sama atau gotong
royong, serta saling bahu membahu ketika terjadi bencana demi kebaikan semua.
3.
Jaringan
Jaringan ialah ikatan antar simpul (baik
individu maupun kelompok) yang dihubungkan dengan media (hubungan sosial),
diikat dengan kepercayaan, dan kepercayaan tersebut dipertahankan oleh norma
yang mengikat kedua belah pihak. Jaringan dapat terbentuk karena berbagai
faktor, seperti kesamaan daerah asal, kepercayaan, hubungan genealogis, dan
sebagainya.
Komunitas
Internal
Meliputi hubungan sosial yang terjalin
erat diantara para warga masyarakat yang tinggal di sekitar lereng Merapi.
Solidaritas yang terdapat di sana adalah jenis solidaritas mekanik
(gemeinschaft). Solidaritas yang terjalin diantara mereka dapat dikatakan
sangat erat. Selain karena kesamaan latar belakang daerah atau tempat tinggal,
suku, bahasa, dan budaya, juga karena masyarakat merasa senasib sepenanggungan.
Mereka menyadari bahwa untuk menghadapi ancaman resiko bencana, diperlukan
adanya kekompakan dan kerja sama dari masyarakat sendiri. Ikatan yang terjalin
tersebut memungkinkan terjadinya proses tolong menolong.
Jaringan yang terbangun di dalam internal
komunitas dapat digunakan untuk berbagai kepentingan, seperti penyebaran
informasi pada saat proses pra-evakusi dimana informasi disampaikan melalui HT,
media sosial, ataupun dari mulut ke mulut. Anggota masyarakat yang memegang HT
biasanya adalah mereka yang tergabung dalam satu wadah seperti Tagana (Taruna
Siaga Bencana). Yang mana mereka akan mengumpulkan informasi dari sumber
terpercaya dan kemudia melanjutkan informasi itu kepada masyarakat lain yang
ada di sana, baik secara langsung dari mulut ke mulut maupun secara tidak
langsung melalui media sosial.
Komunitas
Eksternal
Dalam pemenuhan kebutuhan informasi
tentang Gunung Merapi, masyarakat menjalin hubungan dengan pihak eksternal
seperti BPPTKG, perangkat Desa, perangkat Dusun, dan komunitas itu sendiri.
Hubungan ini menunjukkan adanya bonding (pengikat) dan bridging (penyambung)
yang kuat di dalam anggota komunitas. Pihak eksternal lain seperti Qtel (Qatar
Telkom), Bank Dunia, dan REKOMPAK juga turut menjadi salah satu modal sosial
berbentuk jaringan komunitas yang berperan dalam memberi bantuan. Bantuan yang
diberikan mecakup berbagai macam bentuk bantuan. Selain itu, para relawan
bencana dan sanak saudara dari masyarakat lereng Merapi yang tinggal di luar
daerah rawan bencana juga menjadi jaringan komunitas.
Komunikasi terhubung melalui HT. Selain
itu, BPPTKG sebagai pihak eksternal juga menyediakan saluran radio yang dapat
diakses kapan saja oleh seluruh masyarakat yang memiliki HT. Dalam hal ini,
BPPTKG berperan sebagai jembatan untuk menginformasikan seputar kondisi Gunung
Merapi kepada pemerintah desa, kemudian perangkat desa ke perangkat dusun, baru
kemudian perangkat dusun yang menyebarkannya kepada masyarakat. Namun,
masyarakat juga bisa mendapatkan informasi secara instan melalui media sosial.
Selain itu, masyarakat dapat bekerja sama
dengan relawan-relawan bencana untuk melakukan berbagai tindakan dalam
menghadapi bencana, baik sebelum, saat, maupun sesudah. Misalnya, dengan
melakukan mitigasi bencana di sekolah-sekolah yang dimungkinkan terdampak,
edukasi dan sosialisasi kebencanaan terhadap masyarakat awam yang juga
dimungkinkan terdampak bencana, sampai ke pemulihan pasca bencana. Misalnya,
seperti pembangunan huntap atau hunian tetap bagi warga yang rumahnya hancur
karena erupsi (dengan kriteria tertentu), memulihkan psikologi anak-anak dan
masyarakat umuum yang sempat terganggu karena terjadinya bencana, dan bentuk
kerja sama lain guna menghadapi bencana yang terjadi.
Demikian modal sosial yang dimiliki
masyarakat di lereng Gunung Merapi yang dapat diinternalisasikan dalam
manajemen kebencanaan erupsi Gunung Merapi. Yang mana hal tersebut dapat
dilakukan melalui tiga tahap, yakni pra-disaster (pencegahan,
mitigasi, kesiapsiagaan, peringatan dini); during disaster (tanggap
darurat/emergency response); dan after disaster (pemulihan,
rehabilitasi,rekonstruksi). Tentunya, keberhasilan penginternalisasian modal
sosial dalam manajemen bencana pada erupsi Gunung Merapi maupun dalam konteks
bencana lain pun diperlukan adanya kerja sama yang baik dari berbagai pihak.
SUMBER REFERENSI:
Rinjata, R. Hizbaron, Baiquni. 2018. Modal
Sosial dalam Manajemen Bencana.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
https://www.bnpb.go.id/definisi-bencana diakses
pada tanggal 10 April 2021
pada
pukul 17:14 WIB
https://dspace.uii.ac.id/bitstream/handle/123456789/16237/04%20abstract.pdf?sequence=5&isAllowed=y diakses pada tanggal 10 April 2021 pada pukul 19:36 WIB
Komentar
Posting Komentar