DIARYKU #13
Nama : Aprita
Nur Rachma
NIM :
18413241025
Prodi :
Pendidikan Sosiologi 2018 A
09 Mei 2020
“Menjadi Guru, Bukan Kaleng-kaleng”
Berbicara tentang etika guru, mengingatkan saya pada kenangan masa
lalu semasa sekolah. Perlu digaris bawahi bahwa guru juga merupakan manusia
biasa yang memiliki kekurangan dan kelebihan seperti manusia pada umumnya.
Berbuat salah sedikit itu hal yang wajar, asal mau menyadari dan berusaha
memperbaiki agar lebih baik lagi.
Selain itu, tipe-tipe guru itu berbeda-beda. Seringkali ada tipe
guru yang setiap masuk kelas 40% dari jam pelajaran siswa belajar dan
selebihnya secara tidak langsung siswa
dipaksa untuk mendengarkan cerita kehidupan pribadi sang guru.
Bukan apa-apa, selama kisah pribadinya mampu menginspirasi dan
memotivasi siswa mungkin tidak masalah. Karena nilai-nilai kehidupan pun perlu
disisipkan dalam pelajaran dan disampaikan kepada siswa, dengan harapan agar
mereka mampu mengambil pesan moral dari cerita dari sang guru yang akan berguna
bagi kehidupannya mendatang. Namun, berbeda kondisinya ketika sang guru justru
bercerita tentang kisah hidupnya sehari-hari yang ditambah dengan menceritakan guru-guru
lain di sekolah yang sama. Apalagi yang diceritakan itu adalah tentang
kekurangannyaa atau tentang masalah pribadi. Jadi, siswa seolah-olah diberikan
cerita-cerita tentang image negatif guru mereka sendiri dan itu mereka dapatkan
dari guru mereka juga. Menurut saya hal ini kurang etis, rasanya tidak pantas
jika seorang guru membeberkan aib guru lain kepada siswanya. Terlepas dari
benar atau tidaknya cerita tersebut, tetap saja hal itu tidak dibenarkan.
Dan itu benar-benar pernah terjadi ketika saya masih duduk di
bangku Sekolah Menengah Atas. Saya dan teman-teman sekelas, sebagai murid
normal juga seneng-senang saja ketika jam pelajaran kami jadi berkurang karena
dipotong cerita guru yang jauh lebih panjang lebar daripada materi pelajaran,
haha. Biasanya siswa yang duduk di bangku depan jadi korban, karena mereka mau
tidak mau harus memperhatikan cerita-cerita guru dan sesekali menanggapinya
meski sekedar dengam anggukan atau senyum palsu. Sedangkan siswa yang duduk di
bangku belakang lebih aman karena mereka tidak perlu berpura-pura ekspresif
ketika guru bercerita, bahkan ada yang seperti di ninabobok-kan dan kemudian
tertidur lelap. Namun, kami sejujurnya bingung harus bersikap seperti apa
ketika guru melakukan hal tersebut. Terkadang kami juga jadi terbawa oleh
cerita guru ketika 'mengghibahkan' beberapa guru lain, padahal kami tidak tahu
akan kebenarannya. Dan hal itu sebenarnya kurang sehat bagi pemikiran kami,
karena penilaian kami terhadap guru lain jadi terpengaruh oleh cerita satu guru
ini.
Terlepas dari sisi negatifnya, tentu setiap guru juga memiliki sisi
plus masing-masing. Dan pengalaman ini saya jadikan sebagai sebuah pelajaran,
dimana seorang guru dituntut untuk memberikan teladan baik bagi siswanya
termasuk setiap perkataan yang ia keluarkan harus dijaga betul karena akan ada
pertanggungjawaban di kemudian hari.
Komentar
Posting Komentar