DIARYKU #7
Nama : Aprita Nur Rachma
NIM : 18413241025
Prodi : Pendidikan Sosiologi 2018 A
19 APRIL 2020
“ANJURAN
UNTUK STAY AT HOME
DAN
SEGALA PRO KONTRA DI DALAMNYA”
Kurang lebih sebulan,
kami mengarantina diri sendiri alias #dirumahaja karena virus covid-19. Dan
selama itu juga kami para mahasiswa harus melaksanakan kuliah secara online di
rumah masing-masing, sesuai dengan instruksi dari Pak Rektor dan pemerintah.
Kalau boleh memilih,
tentunya saya pribadi lebih memilih untuk kuliah di kampus seperti biasa.
Meskipun harus bangun pagi dan macet-macetan di jalan juga tidak masalah, yang
penting bisa bertemu teman-teman, bapak ibu dosen, bisa jajan di kantin kampus,
mengerjakan tugas di luar, kalau bosan nugas bisa kesana kemari untuk
menghilangkan penat. Kalau sekarang? Mana bisa. Tapi lagi-lagi kita memang
harus berdamai dan mensyukuri setiap keadaan yang ada. Bicara tentang kondisi
saat ini, di satu sisi para pekeraja medis harus tetap bekerja seperti biasa
bahkan lebih keras lagi dan menjadi garda terdepan dalam memerangi virus
covid-19. Di sisi lainnya, ada manusia-manusia yang masih saja mengesampingkan
hati nurani demi ego sendiri. Iya, mereka yang masih saja keluyuran kesana
kemari ketika sebenarnya masih bisa hidup 'baik-baik saja' di dalam rumah,
mereka yang membeli ini itu secara berlebihan karena takut kehabisan stok tanpa
memikirkan orang lain yang untuk membeli sedikit saja tak mampu, mereka yang
masih saja menganggap bahwa fenomena virus corona ini adalah sesuatu biasa yang
hanya menghiasi berita di layar televisi dan timeline media sosial serta
berpikiran bahwa itu tidak akan mungkin menimpa dirinya, juga mereka-mereka
lainnya yang seakan acuh dengan kondisi gawat yang sedang menimpa seluruh dunia
sekarang ini.
Lalu ketika
kita bicara tentang apa yang dapat dilakukan dalam menghadapi kondisi saat ini,
memang seharusnya kita lebih memaksa hati dan pikiran kita agar bekerja lebih
keras untuk menghasilkan tindakan yang sesuai dengan etika kemanusiaan. Kemarin,
ada sebuah fenomena di tengah wabah virus corona yang terjadi di desa saya,
yakni perbedaan pendapat diantara warga untuk mengadakan ibadah di masjid
seperti biasa atau terpakasa harus 'meliburkan' kegiatan di masjid untuk
sementara waktu.
Sebelum
keputusan diambil, ibadah masih berjalan seperti biasa, hingga pak takmir
masjid dipanggil oleh babinkamtibmas setempat untuk dimintai keterangan terkait
mengapa masih saja melaksanakan ibadah di masjid padahal sudah dilarang. Mungkin
desa kami dianggap ngeyel
karena tidak mematuhi anjuran dari pemerintah setempat. Namun itulah yang
terjadi, seringkali perbedaan pendapat tidak menemukan titik temu dan membuat
lalai akan aturan yang telah ditetapkan. Satu pihak menghendaki agar warga
ibadah di rumah masing-masing saja karena kondisi saat ini, apalagi kecamatan
kami sudah ditetapkan sebagai red zone. Pihak lainnya lagi ingin agar di
tengah pandemi ini warga lebih mendekatkan diri kepada Tuhan dengan cara tetap
menjalankan ibadah di masjid, dan kondisi seperti sekarang ini bukan suatu
halangan untuk tetap beribadah di rumah Allah.
Namun, aturan tetaplah aturan. Sehingga, keputusan
akhir tetap disesuaikan dengan aturan yang ditetapkan oleh pemerintah yakni
warga beribadah di rumah maisng-masing selama keadaan belum stabil, termasuk agenda-agenda lain selama
bulan Ramadhan nanti pun sementara
ditiadakan. Memang, semua harus didasari dengan perasaan legowo untuk
menerima kenyataan ini. Toh, dengan beribadah di rumah pun seharusnya tak
mengurangi semangat kita sebagai umat muslim untuk memaksimalkan ibadah di
bulan Ramadhan.
Komentar
Posting Komentar